Breaking News

Orang Pintar Sudah Terlalu Banyak, Tapi Tidak Bijak dan Tidak Berakhlak

Jacob Ereste
HORIZON - *** Karma itu boleh juga dipercaya pun bisa tidak. Tergantung keyakinan bagi setiap orang terhadap agama yang tidak bisa dipaksa oleh siapa pun, termasuk orang tua sendiri yang memiliki otoritas lebih dibanding orang lain. Apalagi hanya sekedar atasan dari sebuah instansi atau pun perusahaan yang menjadi tempat menggantungkan sumber nafkah untuk hidup bagi diri sendiri maupun keluarga.

Ketika ada yang mau melakukan tawar menawar atas keyakinan yang telah menjadi ketetapan hati, inilah salah cara menakar otentisitas dari keyakinan itu terbilang tangguh atau tidak melekat diantara relung jiwa dan hati yang sejati. Sebab keikhlasan dan sikap yang kukuh hanya diri kita sendiri pula yang tahu bersama Tuhan. 

Karena itu, kejujuran yang utama dan mutlak itu pun hanya ada pada diri sendiri. Lalu perasaan nyaman dan aman serta ketenteraman hati sejatinya ada pada kemauan serta kemampuan diri sendiri. Maka itu, takaran kekayaan pun menjadi sangat tergantung dari kearifan dalam kemampuan dan kemauan menakar diri dengan ugahari. 

Oleh karena itu, nilai kekayaan bagi kaum sufi tidak dihitung dari seberapa banyak harta dan kekayaan yang bisa dimiliki, tetapi seberapa banyak seseorang mau terus memberi bagi orang lain, kendati dirinya sendiri tidak pernah berlebih. Karenanya, kaum sufi acap terkesan menilai kekayaan yang tidak harus terlihat secara fisik, karena kaum sufi itu memang berada pada habitat non fisik (spiritual), religius, batin dan roh bahkan untuk semua hal yang ghaib. Semua itu sungguh sulit keterima oleh akal, karena akal pikiran manusia sejenius apapun tidak akan mampu melampaui wilayah jelajah spiritual yang jauh mampu melintasi langit.

Ketika daya nalar serta pemahaman sudah mampu menerobos dunia dan akhirat seperti itu, maka dapat dipahami bila dunia hanya jadi wilayah pembatas pada daya pikir, sementara akhirat yang tak tergapai oleh nalar, termasuk bagi akademisi yang paling kampiun sekalipun sekalipun tak mungkin dapat menjangkaunya. 

Oleh karena itu perilaku korup, sogok menyogok, tipu daya hingga sikap culas dan busuk, menjadi akrab dengan profesor dan doktor yang bergelar mentereng secara akademis. 

Dan jumlahnya tidak sedikit yang sudah terjebak, terjerembab, dalam perilaku tidak etis, amoral hingga yang tidak berakhlak. Apalagi hanya bagi mereka yang sengaja memanipulasi agama hanya untuk penghias diri, agar bisa mengelabui orang banyak.

Perilaku yang sejati umat beragama yang sesungguhnya, sekedar untuk membentengi diri, tanpa perlu pamer atau umuk kepada orang lain. Agama adalah jilbab perisai diri bukan cuma dari berbagai kekotoran yang bernafsu menghampiri, tapi juga sebagai simbol dari keengganan mengundang birahi. Jadi bukan pula untuk mengelabui Tuhan.

Di dalam trend peradaban di dunia, kegelisahan jiwa yang resah akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini yang segera akan meninggalkan revolusi babak keempat. Ketamakan dan kerakusan telah merangsang birahi untuk menjajah dan perang, tidak untuk menjajah dan memerangi bangsa maupun saudara sendiri. Sebab sudah terlalu banyak orang pintar, tetapi tidak bijak dan juga tidak berakhlak. Begitulah, kepintaran yang merusak, tak hanya alam pikiran, tetapi juga alam jiwa kemanusiaan pun terlumat pula. 

Editor: Haes Rumbaka

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close