Poto: Ilustrasi |
Dan seiring waktu, itu semakin menegaskan posisi 'ke-Aku-an' dan memposisikan orang lain yang tak sehaluan itu adalah musuh di sebrang, sebagai 'Kau, sebagai Kompetitor'
Apalagi dengan dibumbui gerak insting kehausan viral dan kerakusan pada politik dan kekuasaan, bahkan tak sedikit agama jadi alat penunjangnya dalam membangun insting itu, ia semakin menegaskan posisi individu masing-masing dalam posisi kontra protogonis terhadap orang lain.
Pun dalam pengelompokkan ideologi mazhab, golongan selaku berkecendrungan politis, kita kadang terjebak dalam dunia konfrontatifnya dunia hitam putih, seolah tak ada warna dan nuansa lain dalam keindahan, selain hitam dan putih.
Inilah egosentris prinsip pada pakaian identitas, jika tidak seperti aku atau kelompok aku, 'Kau adalah musuhku!'. Layaknya menjebak pada kepentingan Politik identitas, demikian kira-kira.
Hanya karena kita yakin, bahwa pandangan kita itu benar, tapi bukan berarti harus menyalah-nyalahkan (apalagi menjelek-jelekan) orang yang tak sepandangan dengan kita.
Hampir pada tiap narasi pada tulisannys adalah isinya curahan sudut pandang subyektif, yang bersangkutan atau pembuat narasi. Padahal hal itu sangat dipengaruhi massa, kultur dan lingkungan dan yang lebih berperan adalah pengaruh kualitas dari kapasitas si subyek penulis dalam menyampaikan pesan empirik, rasional dan Intuitifnya.
Mari belajar membangkitkan kesadaran, langkah pertama, kita menyadari.l, bahwa kita diciptakan beragam, bukan seragam, lalu pahamilah persamaan dan perbedaan yang sudah tertanam sejak diri kita dilahirkan, baik dari sisi lahir maupun batin, apalagi mengenai esensi makhluk yang tak akan lepas dari perubahan.
Kalau merunut pada konsep dasar teknik berfikir logis (ilmu mantiq) ada istilah Tanaqudh (yang iya di tidak kan, dan yang tidak di iyakan) dan Aks (memutar balikan isi kandunga suatu qodhiyah/hal/masalah tertentu), tujuannya adalah untuk mendeteksi peredikat benar atau salahnya suatu qodhiyah (hal/masalah tertentu) yang sedang dikaji, dan dalam hal ini tak lepas dari tashawur (penganalisaan) yang detil, juga tashdiq (pencarian alasan) baik yang dhoruri/konkrit (tidak perlu uraian penjelasan) atau yang nadzhori (perlu uraian penjelasan).
intinya, biasakanlah kita legowo menghargai dan menerima perbedaan, terutama dalam setiap konsep sudut pandang.
Jangan posisikan diri kita pada posisi ke 'Aku an, yang subyeknya tak ada 'Kau', obyeknya (the other). Kau yang tak sehaluan sebagai musuh. inilah rival yang harus dikalahkan, dihancurkan dan dilenyapkan, yaitu Tak ada Aku dan Kau, yang ada hanya 'Kita'
Alangkah naifnya, manakala hanya karena beda dalam pembicaraan, beda pandangan (sudut pandang), beda latar belakang, beda pergaulan, beda kedudukan, beda guru, beda pengamalan, beda kebiasaan, lalu kita menganggap dan menyimpulkan orang yang berbeda itu adalah Lawan yang harus Dilenyapkan.
Karenanya, kita berharap, jangan sampai kita terjebak pada pengkotak-kotakan semu, dengan memposisikan setiap orang yang dianggap lawan sebagai musuh. Padahal ingat, musuh sejati sesungguhnya adalah sifat ego pada diri kita sendiri :
أَعْدَى عَدُوَّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ (الحديث)
عدوك حقيقة ليس الغير بل نفسك
(الحكمة القديمة)
"Musuh sebenarnya bukan orang lain, tapi (keegoan) dirimu sendiri". Wallahu'alam bishawabi.*** (Mukhlish)
0 Komentar