Breaking News

Horizon Jumat: Konspirasi dan Jihad

Poto: ilustrasi

لَا تَقْصُصْ رُءْيَا كَ عَلٰۤى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَـكَ كَيْدًا ۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِ نْسَا نِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ (Yusuf 5)

Adalah sebuah fenomena situasi di mana hal itu tidak bisa semata-mata berdiri sendiri, akan tetapi memiliki hubungan keterkaitan dengan yang lain dan membutuhkan kerja tim (team work), itu apa yang kita kenal misalnya dengan munculnya berbagai istilah seperti rekayasa, konspirasi (conspiration) sebagai gawean intelijen (Contra Intelijen) dengan tujuan tertentu, 'goal target' 

Praktik team work seperti itu sudah menjadi gambaran umum manusia dalam semua tingkatan komunal (keluarga, organisasi, paguyuban, negara) dengan tujuan final 'meraih apa yang diinginkan'.

Begitu pun ketika masuk ke ranah politik dengan tujuan akhir political of power untuk meraih kekuasaan seluas-luasnya. 

Padahal kita mesti mengambil hikmah dari insiden sejarah, dari bagaimana team work rekayasa atau konspirasi intrik yang dibuat oleh mereka saudaranya nabi Yusup As yang berbohong kepada bapaknya (Nabi Yakub As) dan juga kepada penguasa Mesir saat itu, ini dapat kita jadikan acuan.

Begitulah di seluruh dunia sejak zaman dulu, jaringan kerja konspirasi, spionase, kontra intelijen, intrik, framing isu dan juga proxy war (perang proksi) dan lain-lain yang menjadi standar operasional untuk meraih sesuatu yang diinginkan dan kerap terjadi di seluruh dunia.

Muncul istilah konspirasi dan teori konspirasi (conspiration of theory) misalnya, itu kosa kata lama bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia termasuk di negara negara maju sekalipun.

Sangat banyak berkembang teori konspirasi dalam semua bidang kehidupan (sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan), seperti teori bumi datar (flat earth), UFO, Pendaratan Apolo, Illuminatie, dominasi Yahudi, China, bahaya Komunis, Islam phobia dan seterusnya.

Di tengah kecanggihan platform digitalisasi saat ini, dan hegemoni dari kekuasaan avatar di dunia Maya, semua itu melahirkan kenyataan ruang ekspresi dalam saluran digital ebih mudah tersebar, hingga antara fakta dan interes politik pun memadu dalam ruang maya, dan menembus pada setiap individu komunal, dan tidak sedikit menimbulkan maraknya rekayasa hoaks. 

Adapun tentang kebenaran berbagai teori konspirasi, itu sebagian bisa dianggap benar, tapi kebanyakannya isu interes masif yang bersifat hoaks, namun gayung bersambut ternyata penyuka hoaks ini banyak.

Dibutuhkan kecerdasan yang cukup untuk memfilter berbagai terpaan hoaks di layar digital, di sini dibutuhkan kapasitas wawasan pengetahuan, ilmu serta ketajaman rohani, ini akan menjadi faktor utama yang penentu seseorang akan mudah atau tidak termakan isu rekayasa dusta itu.

Dengan kata lain mereka yang cendrung kurang cerdas dalam wawasan dan pengalaman gaul akan mudah sekali termakan berbagai hoaks. Karena golongan ini akan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran, apalagi jika diembel embeli dengan doktrin agama, dibungkus dalil ayat qur'an seruannya memakai media dari mereka kaum agamawan dan kalangan motivator.

Namun, terlepas dari masalah benar dan tidaknya sebuah teori konspirasi, dan di luar kerumitan berbagai praktik konspirasinya, terutama dalam dunia politik, penulis hanya ingin menegaskan bahwa ada hal yang jauh lebih penting dari semua 'sampah' teori itu dan ini menjadi prinsip yakni : nilai diri yang dibentuk dari pemahaman yang benar itulah yang akan dipertanggungjawabkan nanti di hadapan Allah (Akhirat).

Sederhananya jangan terlalu yakin juga dengan wawasan pemahaman kita tentang berbagai teori konspirasi, tim work spionase, kontra intelijen dan lain-lain, seolah kita sudah sedemikian tepat dan benar memahaminya dan berusaha 'menggurui' orang lain harus mengikuti jalan pikiran kita.

Apa tidak mungkin juga berprinsip dengan jalan pikiran kita saat ini, bahwa kita adalah korban tanpa kita sadari, bergerak mengikuti ketukan gendang yang dipukul orang ?

Poto: ilustrasi

2. Dalam hal konsepsi kebenaran ini hal berhubungan dengan hal di point pertama.

Jangan ngotot dan memaksa orang lain harus sefaham dengan pemahaman serta jalan pikiran kita, tentang memahami realitas sosial, agama, politik, plus dengan segala sampah berbagai teori konspirasi itu.

Seringkali kita terjebak pada sejumlah klaim dan generalisasi dari sebuah kata dan kalimat yang masih ambigu (mubham) seperti kata-kata:

Kita, Kami, Umat, Umat Islam.

Jangan main klaim seolah kita adalah refresentasi sebuah kata. Contoh sederhana jika kita katakan 'ummat Islam' harus bangkit melawan dominasi, hegemoni dan oligarki politik dan lain-lain.

Padahal yang diklaim itu siapa dan umat Islam yang mana?

Apa ukuran kapasitas, kapabilitas, validitas, reasoning dan akurasinya, kita seolah benar sebagai refresentasi kata yang kita ucapakan?

Kita ambil contoh radikal dan nyata itu supaya jelas, posisi kalangan nahdhiyin misalnya, yang secara platform jamaah dan konsepsi politik serta kenegaraannya sudah jelas.

Bisakah ratusan ribu ulama serta jutaan jamaah merasa terwakili jika kita katakan: 'Ummat Islam terdzalimi, Ulama terkriminalisasi, Kita, Ummat Islam harus bangkit melawan tirani rezim yang dzhalim?

Pertanyaannya, kita itu siapa, Ulama mana?

Dan umat Islam yang mana?

Oleh karenanya, main klaim dan penggiring opini seolah jika kita katakan 'Umat Islam, Ulama, Kita' itu adalah refresentasi mewakili umat Islam yang sesungguhnya?, Ini jelas pemaksaan yang terbungkus perang interest dan Tuhan pasti gak suka itu bung!

Artinya, janganlah kita semua memaksakan apa yang kita pikir benar, akan benar pula menurut orang lain. Wallahu'alambishawabi*** (Mukhlish)

0 Komentar

Posting Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close